Beranda | Artikel
Sirah Nabi 4 - Garis Nasab Nabi Muhammad ﷺ
Rabu, 27 September 2017

Nama lengkap Nabi Muhammad ﷺ adalah Muhammad bin ‘Abdullāh bin ‘Abdil Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilāb. Qushay ini adalah orang pertama dari kakek moyang Nabi yang mengumpulkan kaum Quraisy untuk berkumpul di kota Mekkah demi menyusun kembali kekuatan. Mereka adalah keturunan Nabi Ismā’īl ‘alayhissalām yang tersebar, kemudian dikumpulkan oleh kakek moyang mereka yaitu Qushay bin Kilāb.

Setelah mereka memiliki kekuatan yang mamadai, dengan dibantu oleh Qudha’ah maka mereka mulai menyerang Bani Khuza’ah untuk merebut kembali Ka’bah. Karena sebenarnya yang berhak menguasai Ka’bah adalah keturunan Nabi Ismā’īl ‘alayhissalām. Bukankah Jurhum ketika pertama kali menemui Hajar, pada saat itu Hajar lah yang menguasai zamzam? Bukankah yang membangun Ka’bah adalah Nabi Isma’il yang merupakan nenek moyang suku Quraisy –sebagaimana telah lalu-? Oleh karena itu, sebenarnya yang berhak menguasai Makkah adalah anak-anak keturunan Ismā’īl ‘alayhissalām yaitu Quraisy. Akhirnya mereka pun menyerang Khuza’ah dan berhasil mengalahkan mereka. Maka semenjak saat itu, kepengurusan Mekkah beserta Ka’bah dipegang oleh orang-orang Quraisy yang dipimpin oleh Qushay bin Kilāb.

Setelah itu Qushay bin Kilab membagi kepengurusan Ka’bah dalam scope yang lebih kecil, ada bagian siqoyah (yang bertugas memberi minuman kepada jama’ah haji), rifadah (yang bertugas memberi makanan kepada jama’ah haji), hijabah (yang bertugas menentukan waktu penutupan Ka’bah dengan Kiswah dan kapan Ka’bah dibuka pintunya), dan liwā’ (yang memegang kepemimpinan di dalam peperangan). Qushay membagi kepengurusan Ka’bah ini kepada anak-anaknya.

Qushay bin Kilab memiliki 4 orang anak ‘Abduddār, ‘Abdu Manāf (kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam), ‘Abdusysyams dan ‘Abdul ‘Uzza. Saat Qushay bin Kilab telah mencapai masa tua, dia pun memberikan kepengurusan kepada anaknya yang tertua yaitu ‘Abduddār.

Setelah ‘Abduddār meninggal dunia, terjadi perselisihan diantara anak-anak ‘Abduddār dan anak-anak ‘Abd Manaf. Mereka terpecah menjadi 2 kubu, yaitu kubu yang mendukung anak-anak ‘Abduddār dan kubu yang mendukung anak-anak ‘Abdu Manaf. Bahkan mereka saling membuat sekutu, dan saling bersumpah. Diantara mereka ada yang mengadakan sumpah setia yang kemudian disebut Halful Muthayyabīn, yaitu dari anak-anak ‘Abdu Manaf. Dikatakan demikian karena mereka berkumpul dan mencelupkan tangan mereka di sebuah tempat yang berisi minyak wangi, sehingga mereka dikenal dengan sebutan al-Muthayyabīn (yang wangi), dimana mereka bersumpah untuk melawan saudara-saudara mereka sendiri. Sementara anak-anak ‘Abduddār bersama sekutunya juga bersumpah dengan cara yang sama, namun bukan dengan cara mencelupkan tangan ke minyak wangi, melainkan ke darah.

Mereka meyakini bahwa kepengurusan terhadap Ka’bah adalah perkara yang mulia. Sejak dahulu mereka mengagungkan Ka’bah. Mereka rela mengeluarkan uang dan harta, bukan sebaliknya dengan mengambil uang dan harta dari pengelolaan Ka’bah. Mereka mengeluarkan uang untuk memberi makan dan minum kepada jama’ah haji, dan ini adalah suatu kebanggaan bagi mereka. Bahkan mereka rela berperang dan saling membunuh demi memperoleh kebanggaan ini. Dan ini terjadi sudah sejak zaman dahulu.

Perselisihan ini pun akhirnya mereda dan merekapun akhirnya berdamai. Lalu mereka membuat kesepakatan pembagian tugas menjadi dua, yaitu :

  1. Bagian rifadah dan siqayah (memberi makanan dan minuman) diberikan kepada Bani ‘Abdi Manaf.
  2. Bagian peperangan, liwa’, dan hijabah serta kunci Ka’bah diserahkan kepada Bani ‘Abduddār.

‘Abd Manaf punya 4 orang anak yaitu Hāsyim, Al-Muttholib, ‘Abdusysyams dan Naufal. Hāsyim putra sulung ‘Abdu Manaf (kakeknya Nabi), dialah yang memegang siqayah dan rifadah. Dia terkenal sebagai orang yang bertanggung jawab memberi makanan dan minuman bagi jamaah haji. Hāsyim terkenal sebagai orang yang sangat baik dan dermawan. Beliau dikenal dengan panggilan Hasyim, karena namanya diambil dari لِهَشْمِهِ الْخُبْزَ “memecahkan roti” untuk dibagikan kepada jama’ah haji. Diantara kisahnya yaitu suatu hari beliau pergi ke negeri Syam untuk berdagang, namun beliau mampir ke kota Madinah terlebih dahulu. Di Madinah beliau menikah dengan seorang wanita yang bernama Salma binti ‘Amr dari bani ‘Adiy bin an-Najjaar, lalu tinggal di Madinah beberapa waktu. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan menuju negeri Syam, dan ternyata istrinya yaitu Salma dalam kondisi mengandung.  Hasyim akhirnya meninggal di kota Gozzah di Palestina, dan Salma melahirkan putranya yang bernama Syaibah, karena ada syaibah (uban) di kepalanya. Maka tumbuhlah Syaibah di Yatsrib (Madinah) tanpa sepengatahuan paman-pamannya (saudara-saudara Hasyim).

Setelah Hāsyim meninggal maka pengurusan rifadah dan siqoyah berpindah kepada saudaranya Al-Muttholib. Dan Al-Muttholib juga dikenal sangat dermawan sehingga ia diberi gelar dengan Fayyadh (yang mengalir darinya kebaikan-kebaikan). Setelah beberapa tahun, Al-Muttholib mendengar tentang keponakannya -yaitu Syaibah bin Hasyim- yang ada di Yatsrib. Ia pun mencari keponakannya untuk dibawa pulang ke Mekah. Tatkala Al-Muttholib melihat Syaibah, ia sedih dan menangis. Lalu ia hendak membawanya ke Mekah, tetapi Syaibah tidak mau sampai dia meminta izin kepada ibunya. Ibunya tidak mengizinkan hingga akhirnya Al-Muttholib membujuknya dan berkata bahwa Syaibah hendak pergi ke kekuasaan ayahnya (Hasyim), akhirnya ibunya pun mengizinkan. Tatkala Al-Muttholib masuk ke kota Mekah sambil membonceng Syaibah di atas ontanya, orang-orang Mekah pun berkata kepada Syaibah “ini adalah Abdul Muttholib (budaknya Al-Muttholib)”, karena menyangka bahwa Syaibah adalah budaknya Al-Muttholib. Maka Al-Muttholib berkata, “Celaka kalian, ini adalah putra saudaraku Hasyim”. Setelah Al-Muttholib meninggal dunia, tanggung jawab ini (siqoyah dan rifadah) diteruskan kepada Abdul Muttholib (syaibah) bin Hasyim. (Lihat ar-Rohiiq al-Makhthuum 40-41). Abdul Muttholib adalah kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Setelah ‘Abdul Muttholib meninggal dunia, tugasnya pun diserahkan kepada anaknya, yaitu Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib (paman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam).

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 07-01-1439 H / 27-09-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1806-sirah-nabi-4-garis-nasab-nabi-muhammad.html